Imanku bergelombang. Sesaat ia menukik berada sekian tingkat di bawah strata keshalihan manusia-manusia yang digambarkan dengan indah dalam kalamullah. Tak jarang ia berada begitu dekat dengan titik kritis yang mendikotomi muslim menjadi pejuang militan dan penyandang maestro pesakitan, al wahn. Menjadi sebuah ironi yang menyakitkan ketika di satu sisi seruan kepada al imanu billah senantiasa bergelinjang menerobos telinga-telinga mereka yang mencari kebenaran haqiqi, menyodorkan islam sebagai penawar, namun iman ini sedang merunduk. Iman ini tenggelam.
Kaki ini terpancang pada zaman yang tidak toleran, zaman yang keras. Episode peradaban yang tak membiarkan keimanan menjadi tiara mulia, periode yang melarang keshalihan tersembul jelas. Setiap nyawa disuguhi sebuah skrip yang mendewakan dunia, menuhankan materi, meng-anakemas-kan kebebasan, menyembah kenikmatan. Hati orang beriman disergap jilatan neraka tiap detiknya, hingga siapapun yang tidak taat, niscaya akan meleleh lentera tauhid di hatinya. Maka sudah jelas klimaks bagi mereka yang tak punya iman. Mereka akan tergulung hingga musnah. Continue reading