Teori Relativitas Dalam Kepala Kecil Saya


relativitas

“Eres, surat permohonan audiensi dan peliputan untuk media X, Y, Z sudah jadi. Hari ini diusahakan sudah diantar semua ya. Jazakillaah khayran katsiir, adik sayang..”

Saya yang sedang menekuri Pegunungan mistis Kailas di Tinggian Tibet dalam travelogue Agustinus tiba-tiba ngegeblak balik ke udara panas kota Jogja. Langsung terbayang jalanan terik dan berdebu karena pantat mobil di tengah jalan. Males? Jujur iya, tapi kan namanya amanah ya langsung dikerjain.

“Mbak Eres, jangan lupa nanti ngawasin responsi anak 2011 ya. Soal ujianya jangan lupa di bawa”

Lain waktu rekan asdos kampus mengabari tugas saya. Kembali terbayang perjalanan yang harus saya tempuh mulai pinggir barat kota Jogja hingga pinggir timur nun jauh di sana. Mendadak hidung saya terasa penuh debu knalpot, meski itu cuma dalam pikiran saja. Berat? Iya, tapi namanya tugas, ya harus dijalankan.

“Ustadzah, jangan lupa nanti jadi moderator dan perkap di pengajian bulanan Plemburan Kaliurang. Barakallahufiik”

Aih perjalanan 35 menit yang harus melewati keruwetan fly-over Jombor dan lalu lalang Monjali membuat saya menarik nafas panjang, sesaat setelah menerima sms itu.

***

Desember 2014 lalu saat backpacking ke Bawean, saya sempat sehari penuh transit di Surabaya. Kota pahlawan itu penuh, sesak, panjang, ruwet di mata saya. Angkotnya banyak, jalanannya bercabang-cabang seperti sarang semut, dan manusianya tumpah ruah. Saya sempat merenung di pinggir sungai dekat Monumen Kapal Selam, sok-sok pusing and feeling lost ala Scarlet Johansson di film Lost in Translation. Ngoookk!

Dari Gubeng lama ke House of Sampoerna saya harus berjalan kaki dulu 1 km, naik angkot 20 menit, dan berjalan 1 km lagi. Capek? Kan sambil bawa carrier 65 liter? Nggak tuh, happy malah. Haha.. Malamnya, partner in crime saya, mengizinkan carrier dan badan saya ikut nangkring di motornya, menempuh jalanan Surabaya kota – Benowo. Serius itu jalanan panjaaaaaaang banget, berdebu sampe membuat tenggorokan saya gatal, sempit karena pembangunan jalan, macet, sumpek. Ya Allah.

“Art, kamu tiap hari ngelewatin perjalanan kayak gini?”, tanya saya iseng.

“Iya, kan rumahku di Benowo, liputanku seringnya di kota. Tapi ini lho deket”. Jawab Artika, dengan senyum.

Saya melakukan komparasi dan cocoklogi antara waktu tempuh motor ngebut selama nyaris 1 jam dengan kata ‘dekat’ yang tadi diucapkan Artika. Bibir dan hidung Artika tersembunyi di balik syal penahan debu. Matanya merah, wajahnya berminyak kusam, dan saat melihat spion, keadaan wajah saya jauh lebih buruk. Ngenes, rek!

Dalam keruwetan jalanan Benowo dan hawa panasnya, saya merindukan Jogja. Dan definisi ‘jauh’ dalam mindset saya tiba-tiba terdekonstruksi.

Lain waktu saat sedang backpacking ke Bali, saya numpang dengan kece di kosan partner in crime yang satu lagi. Badan saya remuk redam rasanya setelah menempuh Jogja-Banyuwangi dengan kereta api, menyeberang dengan kapal ferry, dan melanjutkan Gilimanuk-Denpasar dengan bus. Selain jalan-jalan ala backpacker proletarian di Bali, saya terkadang juga ikut menemani aktivitas kawan saya. Mondar sana, mandir sini. Menclok sana, menclok sini. Lingkup aktivitasnya dari satu tempat ke tempat lain menempuh perjalanan jauh, bikin tangan capek nge-gas, dan bikin bibir kering karena kelamaan di jalan. Dan setiap kali saya tanya, kok dari kosan ke tempatmu beraktivitas jauh amiir. Kawan saya akan bilang, “Ah deket kok”.

Suatu waktu kami akan pergi ke rumah kawan ngajinya, ikutlah saya. Seperti biasa saya tanya, “Jauh nggak Cill?”

“Iiih, deket kok”, ucapnya. Dengan senyum.

Dan dekat bagi Cilla itu ekivalen dengan 45 menit di atas jok motor, ngelewatin pasar, ruko, sawah, kompleks gubernur, ruko lagi, sawah lagi, perumahan, peternakan sapi, indomaret belasan, sampe tangan pegel dan muka kusem, barulah sampai di rumah kawan yang dekat itu. Di sini, definisi ‘jauh’ dan ‘dekat’ bermetamorfosis sedemikian radikal dalam otak saya. Saya menjadi terbiasa, dan saya lupa rasanya jauh.

Perjalanan dari Pondok Aren di Tangerang Selatan dan pergi ke dua rumah sahabat di Bogor untuk silaturahmi juga merombak definisi jauh dan dekat bagi saya. Saya harus keluar jam tujuh pagi tet! Pergi ke Cipulir, lalu ke Lebak Bulus, lalu Baranangsiang, transfer angkot dua kali, sampailah di tempat pertama, ngobrol tidak lebih satu jam, pergi lagi dengan angkot, naik KRL, naik angkot lagi, sampai di tempat kedua, belum satu jam dan saya langsung pamit. Saya sampai lagi di Pondok Aren dengan muka seperti bakwan yang kelamaan kena angin, berminyak dan debu, jam 10 malam. 15 jam keluar, 2 jam berbincang, dan 13 jam lainnya dihabiskan di jalan.

Saat kembali Jogja, mengemudi motor, menuju tempat kajian yang jaraknya 13 km dan memakan waktu 15-20 menit, entah kenapa airmata saya jatuh. Saya sedih. Saya merasa bersalah. Waktu tempuh dan jalanan itu entah mengapa menjadi sangat dekat, sangat ringan, sangat sebentar. Terbayang wajah Artika di Surabaya dengan kelelahannya menempuh rute panjang Benowo-Kota, wajah Cilla di Bali, wajah mbak Riska di Tangerang. Dan seketika kata ‘jauh’ menjadi rapuh dan runtuh. Mereka mampu melalui jalanan itu, setiap hari, dengan senyum pula, dan saya? Plakk!!

Dibanding paparan Einstein, entah mengapa saya lebih memahami relativitas dalam konteks ini. Jauh, lama, panas, dan panjang yang sering saya rasakan saat wara-wiri di Jogja itu hanya setengah perjalanan Artika di Surabaya dan Cilla di Bali, dan seperempat dibanding aktivitas para urban people di Jabodetabek. Relatif. Komparasi itu membuat saya bersyukur dan merekonstruksi daya juang, pengorbanan, waktu, dan pemahaman saya akan amanah. Di titik ini saya sungguh malu.

Pegunungan Asir yang di bukitnya terhampar kota Thaif adalah kota yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah demi mencari perlindungan dari siksaan Quraisy dan meminta dukungan atas dakwah islam. 100 km di tenggara Mekah, dan dua manusia mulia ini menempuhnya dengan berjalan kaki. Iya, berjalan kaki.

Peta-Thaif

Perjalanan menjadi sesuatu yang dekat dan akrab bagi Rasulullah SAW, shahabat dan shahabiyah. Pasir gersang dengan selimut debu menjadi saksi betapa jauh, berat dan panjang apapun perjalanan yang akan dilakukan. Dan sepanjang menelusuri sirah, saya tidak pernah melihat sikap berat hati, mengeluh, dan menyesal dari para penghuni syurga ini karena punya bermacam aktivitas di tanah yang tidak ramah bagi pejalan. Nastaghfirullah.

Saya jdi teringat kisah Abu Nuwas/Abu Nawas dan sahabatnya.

Ada salah seorang sahabatnya yang mengeluhkan tentang permasalahan rumah tangga yang dialaminya. Akhirnya dicarilah Abu Nuwas sampai ke rumahnya. Setelah bertemu dengan Abu Nuwas, terjadilah perbincangan dan sahabatnya tersebut menyampaikan keluhan kondisi rumah tangganya dengan mengatakan ”wahai Abu Nuwas, rumahku sangat sempit, dan saya tinggali dengan delapan anak dan istri saya. Apa yang harus saya lakukan?” Abu Nuwas pun berucap: ” belilah kambing dan peliharalah di dalam rumahmu”. Tanpa basa-basi sahabatnya tersebut langsung pergi ke pasar untuk membeli kambing.

Hari berikutnya sahabatnya datang lagi dengan membawa keluhan. ”Wahai Abu Nuwas, saranmu sudah saya lakukan, tapi kondisi rumah tanggaku bukan tambah membaik”. Abu Nuwas pun berkata: ” belilah unggas dan peliharalah di dalam rumahmu”. sahabatnya tersebut langsung pergi ke pasar untuk membeli unggas.

Selang beberapa waktu, sahabatnya pun datang lagi dengan membawa keluhan. ”Wahai Abu Nuwas, saranmu sudah saya lakukan, tapi kondisi rumah tanggaku tambah berantakan”. Abu Nuwas pun berkata: ” belilah anak unta tersebut dan peliharalah di dalam rumahmu”. Sahabatnya tersebut langsung ke pasar untuk membeli anak unta.

Lelaki itu menceritakan bahwa istrinya marah sepanjang hari, anak-anaknya menangis, hewan-hewan berkotek dan mengembik, ditambah hewan-hewan itu juga mengeluarkan bau tak sedap. Abu Nawas hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian Abu Nawas menyuruhnya untuk menjual hewan-hewan itu satu persatu mulai dari unggas yang dijual terlebih dahulu, kambing, kemudian yang terakhir onta. Datanglah lelaki itu ke rumah Abu Nawas setelah selesai menjual semua peliharaannya.
Abu Nawas:”Kulihat wajahmu cerah hai fulan, bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”
Si lelaki:”Alhamdulillah ya abu, sekarang rasanya rumahku sangat lega karena unggs, kambing, onta, dan kandangnya sudah tidak ada. Kini istriku sudah tidak marah-marah lagi, anak-anakku juga sudah tidak rewel.”
Abu Nawas: “(sambil tersenyum) Nah nah, kau lihat kan, sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah bangunanmu. Sesungguhnya rumahmu itu cukup luas, hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu. Mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu. Sekarang pulanglah kamu, dan atur rumah tanggamu, dan banyak-banyaklah bersyukur atas apa yang dirizkikan Tuhan padamu, dan jangan banyak mengeluh.”
Relativitas ini membuat saya merasa sedemikian kerdil dan rapuh. Saya baru sadar bahwa saya suka beralasan juga pengeluh. Allah, saya berharap bahwa saya masih punya waktu untuk memperbaiki amalan dan menjadi lebih baik. Aamiin. T_T

4 thoughts on “Teori Relativitas Dalam Kepala Kecil Saya

Leave a comment