Sekuncup Cinta Buat Nanda


1471247_10201097465350917_259024630_n

Mama sebagai founder dan Ketua FIG (Forum Ilmiah Guru) Kabupaten Banyumas

Mama. Mama yang tegas dan cerewet. Yang begitu glamour akan pendidikan. Yang suaranya senantiasa mendengking kala saya bertindak di luar keinginannya. Yang melarang saya beraktivitas di luar rumah lewat dari jam 5 sore hingga usia saya 17 tahun. Yang begitu tegas tentang sekolah. Yang kerap mendelik saat saya selalu lupa hafalan surat saat muraja’ah. Yang memukul pantat saya kala saya meninggalkan shubuh. Yang akan marah kala saya kurangajar pada abang. Yang meninggalkan saya dalam diam ketika saya kekanakan. Yang sangat bawel tentang makanan. Yang memukul kaki saat saya berbohong. Yang begitu keras mendikte saya tentang menjadi kuat dan tidak kekanakan. Yang menolak mentah-mentah lelaki yang berniat memacari saya kala remaja. Yang begitu protektif pada pergaulan. Yang mengajari saya untuk senantiasa berdiri di kaki sendiri.

Mama yang ini adalah mama yang saya benci. Saya benci. Mama yang diktator dan tidak pengertian. Ini melekat di benak setidaknya hingga usia saya 17 tahun. Saya begitu senang saat pendidikan jua yang membuat spasi ekstra jauh antara saya dan mama. Tinggal di Jakarta seperti menghirup dan menggenggam kebebasan.

Baru dua bulan kuliah di Jakarta saat tiba-tiba perasaan saya menjadi nyeri. Hati saya kalangkabut. Jiwa saya rasanya buram. Saya sedih. Dan kesedihan itu hadir karena saya begitu merindukan mama. Saya rindu mama. Mulai ujung rambut hingga kakinya. Dan saat itulah saya merekam apa yang 17 tahun sempat terlewat tentangnya. Hal-hal besar yang tertimbun oleh egoisme masa remaja saya. Detail-detail yang mudah lenyap tertelan karena kekeras-kepalaan saya.

Tentang kesabarannya yang luarbiasa. Tentang kemandiriannya menopang segala beban. Tentang sepasang mata yang senantiasa awas menjaga saya dan abang dari nyamuk semalam suntuk (beliau tidak mau kulit anaknya belang-belang seperti dirinya). Tentang kekkhawatiran panjangnya kala saya demam. Tentang kepayahannya mengurus anak sembari bekerja. Tentang ketelatenennya mengajarkan hijaiyah meski raganya teramat lelah. Tentang tangannya yang tak segan memberi pelukan. Tentang bahunya yang begitu murah sebagai sandaran. Tentang dadanya yang terbuka untuk menempatkan gundah. Tentang sepasang bibirnya yang tak pernah lelah menumpah nasihat. Tentang kekuatannya merubah tumpukan gundah menjadi seyum sumringah. Tentang kesabarannya memasak, menyuapi, memandikan, merawat saya sejak kecil. Tentang semangatnya mengenalkan saya pada buku dan pena. Tentang segalanya, segalanya dari beliau yang ternyata begitu mudahnya luput dari mata saya…

3 hari ini saya menangis, menangis atas setiap detail dari beliau yang belum mampu saya kembalikan. Dan saya kembali menangis kala saya menelusuri folder-folder tulisannya. Ada puisi ini, dan tangis saya pecah sudah. Pecah sudah.

Sekuncup Cinta Buat Nanda

Dengan tangan ini kubakti demi tersaji makanan sarat gizi
Dengan tangan ini kupatri kalam Illahi dalam nurani
Dengan tangan kutulis huruf demi huruf agar terdidik generasi penerus
Dengan tangan terlelap dalam buaian acuhkan lelah seharian
Tangan ini yang mengusap lembut saat bimbang tergolek tak berdaya
Membopong menimang hingga tangis reda

Tak kubiarkan setetes tuba mengalir dalam darah
Tak kuijinkan noda mengotori jiwa
Tak kuhalalkan makanan haram bersemayam
Tak kuabaikan serangga merayap mendengus di lelap tidur
Tak kubiarkan langkahmu tertatih terseok tersungkur lara

Mata terus menerawang karena tak nyata dipandang
Hingga buliran selalu berlinang kala do’a dilamtunkan
Telah kuikhlaskan segala yang kupunya segala yang kubisa
Menahan haus di tengah geliat karya menumpuk di depan mata
Pun pantang meringsut hingga tuntas tugas hingga kandas
Biar tenaga terkuras takkan menyurut nyali
Akan terus kuhadirkan senyum menghias diri

Nyanyian do’a mengiring setiap gerak baktimu pada negara
Teriring rindu di setiap jejak langkah menyatu kalbu
Sebongkah harapan mengembang jadilah pengabdi berbudi
Bekerja berkarya berbakti penuh peduli insani
Terus lecut semangat mengabdi pada negeri
Rela berkorban sedapat demi kemaslahatan umat

Di sini bunda mengiring dengan untaian do’a
Di sepertiga malam terjaga meringsut dari peraduan
Kuusap wajah kubalur rambut dengan sejuknya air wudhu
Menyentuh setiap bentik pori yang tiada lagi berseri
Kusujud menghiba menghamba dalam hamparan sajadah penuh pasrah
Lantunan do’a menggema di tengah lena pusara mimpi
Tak pernah reda dan kering tenggorokan melafal
Takkan tersekat sebelum pinta mendekat
Takkan habis kata dilantunkan

Telah kusimpan dalam rapat terlipat
Kristal derita tak pernah lagi akan kubuka
Air mata mengering tiada lagi bergeming
Kuabaikan duka lara miris yang pernah singgah
Mengukir pahit getir di setiap hela napas
Kuacuhkan badai mendera menghampiri hari-hari
Kutapaki alur berliku yang menyapu
Kuterus malangkah jalani bahtera
Kemanapun hingga ujung detak nafasku sirna
Demi mengemban asa nanda tercinta

Sekuncup cinta buat nanda
Jika kau meradang dalam lara yang panjang
Hadirlah tenggelamkan kepala dalam buaian
Walau dada tak lagi nyaman tuk berteduh
Sedikit kehangatan menyatukan hati kita
Rebahkan kepala dalam pangkuan atau….
Sandarkan pada pundak yang merapuh
Kan kurengkuh dengan tangan yang tak lagi kukuh
Tatap mata ini hingga kau memahami hakikat cinta
Yang terpatri sunyi mengkristal dalam hati

Jika tiba raga tak lagi merdeka
Kaki tak lagi kuasa berdiri tegak
Tangan tak lagi mampu menggapai
Tinggallah seonggok raga yang hanya nyaman berebah
Mata tak lagi gesit mengeja
Daya ingat yang hampir melenyap
Pun ketika berbicara mulai terbata
Pipi mulai terbit keriput menua
Uban menghias kepala guratan usia dimana-mana
Tinggallah langkah lunglai yang menghiba
Ijinkan bunda istirah tenang dalam redupnya hati
Ijinkan bunda menikmati hidangan nan penuh pantangan
Ijinkan bunda menatap liuk gemulai bocah kecil
Tinggallah menikmati sisa mimpi yang hampir sirna

Sekuncup cinta buat nanda….
Hadirmu diharap sapamu dinanti
Tawa senyummu menghias hati
Sejuk sayangmu akan terpatri
Untai do’a walau sekata di usai sujudmu
Akan menyejuk jiwa yang renta
Biarkan rindu kau simpan dalam
Mengiringi langkah-langkah kaki
Jalani bahtera selaras pundi suci
Rapatkan sajadah panjangmu
Jangan pernah tersingkap
Bekal menyongsong senja tiba
Merenda pusaka bekal kekal di alam sana

                                                 ~~~~~~~~~~~

                                                                                Siti Khusnah Nur

                                                                                        Bunda

4 thoughts on “Sekuncup Cinta Buat Nanda

Leave a comment