Xerostomia Yang Sempat Menyiksa


1047389anak-makan780x390

Saat kecil, saya sering sekali membuang makanan saya. Entah itu jatah sarapan, bekal jajan di sekolah, makan siang, atau sekedar sepiring potongan mangga yang mama wajibkan untuk dimakan sebagai asupan buah saya dalam sehari itu. Setiap ada kesempatan dan tidak ada yang melihat, saya akan membuang makanan saya. Entah dengan cara membungkusnya dalam kertas lalu saya sembunyikan, atau dengan menyelipkannya di sudut-sudut kamar, atau melemparkannya langsung ke tong sampah. Tidak satu kali dua mama memergoki buntelan makanan yang saya buang dan pasti mama memarahi atau mencubit betis saya.

Bukan cuma itu, kalaupun saya makan maka setiap makanan selain nasi, saya hanya akan menyesap sarinya, ampasnya akan saya lepeh (buang). Mulai dari daging, sayuran hijau, tauge, wortel, bihun, dan makanan lain hanya akan say kunyah sebentar, saya sesap airnya, dan saya buang.

Ada apa gerangan? Dulu ketika masih kecil, saya juga tidak memahami mengapa saya seperti itu, mengapa saya tidak suka makan, dan kalaupun makan saya akan membuang ampasnya. Tidak terhitung jengahnya saya ketika harus berhadapan dengan wajah mama yang letih dan marah saat menghadapi saya. Mama menghadapi saya dengan semua model pendekatan, dengan bahasa pengertian, mengajak berfikir, hingga emosi. Saya ingin menuruti mama, tapi saya tidak bisa.

Mengapa saya begitu? Alasannya adalah di banyak kesempatan, saya sering mengalami mulut kering dan kekurangan air ludah. Saya seringkali merasa kerongkongan gersang padahal udara sedang dingin dan saya baru saja meneguk segelas besar air putih. Saya merasa kesusahan menelan makanan, apapun makanannya. Karena tidak ada air ludah yang mencukupi di mulut saya, maka semua makanan terasa mengganjal, tidak bisa saya telan. Saya sering terbangun di malam hari karena mulut saya perih dan kering. Dan dulu, pagi hari adalah neraka. Karena mama akan menyediakan sarapan dan beliau menunggui saya hingga makanan habis. Saya sering memohon untuk menghabiskan separuh roti kecil saja untuk sarapan daripada menghabiskan nasi dan lauk pauk lengkap yang sudah mama siapkan. Menelan separuh roti itu juga sudah perjuangan superberat.

Di kelas, saya sering gelisah. Sekian menit setelah kelas dimulai, mulut saya sudah kering, dan saya akan panik, tidak bisa konsentrasi karena memang dilarang minum selama kelas berlangsung. Kalau sudah begini, saya tidak bisa fokus dengan apapun pelajaran yang disampaikan oleh guru di depan kelas. Dan jika saya benar-benar kehabisan ludah untuk ditelan yang menyebabkan rasa perih di kerongkongan, maka saya akan izin ke toilet dan meminum air keran, atau pergi ke kantin dan memesan segelas air. Adegan izin ke belakang ini akan sering saya lakukan dalam setiap pelajaran.

Sejak TK saya sudah begitu, saya tidak tau harus berkata apa pada mama tentang betapa saya tersiksa karena saya sering kekurangan air ludah. Kejadian ini rasanya berlangsung sampai saya SMP atau bahkan SMA. Saya membenci pagi hari, saya tidak suka waktu makan, saya tidak suka makanan yang ‘seret’.

Beberapa waktu terakhir, saya baru tau bahwa gejala kekurangan ludah ini dinamakan Xerostomia. Kekurangan ludah atau xerostomia bisa diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya keseimbangan hormon dalam tubuh, takut dan stress, konsumsi obat-obatan tertentu, kebiasaan bernafas melalui mulut, trauma pada kelenjar ludah (penyumbatan), efek radiologi, dan penuaan. Akibat dari xerostomia ini antara lain susah menelan, mulut dan kerongkongan kering, bibir pecah-pecah, bau mulut, dan mudah terbentuk karies (lubang) gigi. Semua efek xerostomia memang saya alami, termasuk karies gigi. Karena mama selalu menjaga rutinitas saya menggosok gigi, mama juga rajin membawa saya kontrol dokter gigi, tapi tetap saja gigi saya mudah berlubang.

Hingga detik ini saya tidak pernah melakukan konsultasi dengan dokter terkait xerostomia. Karena tidak ada gejala lain yang merugikan atau berdampak besar di tubuh saya. Setelah saya makin besar –hingga sekarang- gejala ini sering terjadi, meski tidak setiap hari. Saya adalah tipe orang yang akan menenteng botol minum besar berisi air putih ke manapun saya pergi. Saya juga penghabis air di kontrakan. Pokoknya kalau soal air, saya memang seperti vacuum cleaner. Dalam sehari, saya bisa menghabiskan 4-4.5 liter air. Ukuran minum saya dalam sekali teguk bukan satu gelas 300 ml, tapi botol ukuran 500-600 ml. Ketika saya duduk selama dua jam dalam acara seminar/training, saya akan menghabiskan 1-1.5 liter air. Ketika semua orang menghabiskan air minum satu botol 600 ml dalam sebuah acara mulai pagi-dzuhur, maka saya akan menghabiskan 3-4 botol dengan ukuran sama. Di kos dan di kontrakan sejak kuliah sampai sekarang, saya memang orang yang sering menghabiskan air minum galon. 😀

Meski begitu, bibir saya memang sering kering, padahal sudah sebanyak itu konsumsi air putih saya. Saya harus sering mengoleskan minyak zaitun supaya bibir saya tidak pecah, atau jika bepergian atau ada acara, saya akan menggunakan lipbalm. Yah, tapi ada dampaknya juga saya suka minum. InsyaAllah proses filterisasi di ginjal berlangsung sehat, meski artinya saya akan beser (sering buang air kecil).

Yap, saya tidak menganggap ini sebuah beban, saya bisa mengatur dan menyiasati efek xerostomia ini. Saya hanya ingin berbagi, terutama bagi para ibu yang punya balita/anak kecil yang sering membuang makanan dan melepehnya. Coba lakukan dulu pendekatan pada sang anak, tanyai mereka perlahan dan penuh sayang mengapa mereka sering membuang makanannya, ajukan berbagai kemungkinan pada mereka, apakah karena makanannya tidak enak, apakah sudah kenyang, atau apakah kurang air ludah hingga tidak bisa menelan. Siapa tau sang anak begitu bukan karena malas makan, tapi karena dia susah menelan karena kurang air ludah. Dan rasanya, anak-anak dengan xerostomia perlu diberi kelonggaran untuk bisa minum seperlunya selama jam pelajaran berlangsung. Karena sungguh, mulut kering dan tenggorokan perih karena tidak ada ludah yang bisa ditelan itu rasanya sangat sangat sangat menyiksa. Hiks..

2 thoughts on “Xerostomia Yang Sempat Menyiksa

Leave a reply to Frida Nurulia (@adirfrida) Cancel reply